NEW YORK – Dampak kemanusiaan dari pernikahan anak telah diketahui; di seluruh dunia, anak perempuan yang menjadi pengantin, rata-rata kurang berpendidikan, lebih miskin, dan lebih rentan terhadap kekerasan seksual dibandingkan dengan perempuan yang menikah pada usia dewasa. Namun ketika dampak ekonomi dari pernikahan anak juga diperhitungkan, maka dampak buruknya benar-benar mengejutkan.
Menurut International Center for Research on Women (Pusat Internasional untuk Penelitian tentang Perempuan) dan Bank Dunia, mengakhiri praktik pernikahan anak akan menghemat miliaran dolar belanja kesejahteraan tahunan, sehingga menghasilkan penghematan lebih dari $4 triliun pada tahun 2030. Sederhananya, kita tidak bisa membiarkan pernikahan anak untuk terus berlanjut.
Namun di banyak negara dimana pernikahan anak merupakan hal yang lazim, perubahan lambat terjadi. Meskipun banyak strategi telah di diskusikan mulai dari Bangladesh hingga ke Zambia, pendanaan untuk program yang terbukti mengurangi pernikahan anak – misalnya peningkatan akses anak perempuan terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan pelatihan kerja – tetap tidak memadai. Jika kita serius untuk mengakhiri pernikahan anak, maka strategi yang holistik harus di dukung dengan komitmen finansial.
Yang pasti, pernikahan anak adalah sebuah tantangan yang sangat besar. Saat ini, satu dari lima anak perempuan di seluruh dunia menikah atau menikah secara tidak resmi sebelum mereka berumur 18 tahun, dan sebagian besar dari anak perempuan ini akan menjadi ibu sebelum mereka menginjak usia dewasa. Di Niger, yang merupakan negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi di dunia, 76% anak perempuan menikah sebelum mereka mempunyai hak pilih dalam pemilu. Dan ketika pernikahan anak terjadi, anak perempuan sering kali tidak mempunyai andil dalam pengambilan keputusan.
Kabar baiknya adalah saat ini merupakan waktu terbaik untuk mengatasi permasalahan pernikahan anak. Ketika dampak ekonomi dari pernikahan anak kini tampak jelas, banyak negara berkembang yang mulai mengatasi permasalahan ini dengan lebih serius. Namun, untuk membantu mengatasi permasalahan ini, negara-negara maju harus turut serta, dan peluang berikutnya untuk melakukan hal tersebut kini kian dekat.
Access every new PS commentary, our entire On Point suite of subscriber-exclusive content – including Longer Reads, Insider Interviews, Big Picture/Big Question, and Say More – and the full PS archive.
Subscribe Now
Pada 31 Mei, para menteri keuangan dan pembangunan negara-negara G7 akan mengadakan pertemuan pertama dari serangkaian pertemuan di Kanada untuk membahas bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat dibagi secara lebih adil. Pertemuan-pertemuan ini akan membuka jalan bagi diskusi yang lebih luas pada minggu depan, ketika Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau menjadi tuan rumah KTT G7.
Trudeau telah berjanji menjadikan kesetaraan gender sebagai tema utama pertemuan tahun ini, dan kami menyambut baik hal tersebut. Namun kami juga menyadari bahwa kecuali para menteri negara-negara G7 mendukung perkataan mereka dengan pendanaan, maka janji-janji yang diucapkan dalam KTT ini tidak akan berarti – dan anak-anak akan terus menderita ketidakadilan yang diakibatkan oleh pernikahan dini.
Mengakhiri pernikahan anak memerlukan ambisi, kreativitas, dan dana. Namun hal-hal tersebut hanya permulaan saja; solusi yang ditargetkan juga merupakan hal yang penting. Meskipun pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi masa depan anak-anak perempuan, namun membangun sekolah dan membayar gaji guru tidaklah cukup. Untuk benar-benar menciptakan pemberdayaan, anak-anak perempuan memerlukan akses terhadap pendidikan yang aman dan berkualitas yang memberikan mereka rasa percaya diri dan keterampilan untuk mencapai keberhasilan. Dan untuk mencapai hal-hal tersebut, dibutuhkan upaya jangka panjang.
Jika negara-negara terkaya di dunia menjadikan permasalahan ini sebagai prioritas utama, maka imbalannya akan sangat besar. Misalnya, Bank Dunia memperkirakan bahwa jika Niger melarang pernikahan anak, maka negara tersebut dapat menghemat belanja kesejahteraan tahunan sekitar $1.7 miliar. Bangladesh dapat menghasilkan tambahan $4.8 miliar pendapatan dan produktivitas tahunan, dan penghematan belanja kesejahteraan di Nigeria akan berjumlah sebesar $7.6 miliar.
Pemerintah mulai mengambil langkah-langkah untuk menurunkan tingkat pernikahan anak; faktanya, jumlah perempuan yang menikah pada usia anak-anak menurun setiap tahun. Sayangnya, perubahan ini masih terlalu lambat. Jika negara-negara di dunia tidak secara drastis mempercepat kemajuan dan meningkatkan investasi, maka pertumbuhan populasi yang cepat akan membalikkan kemajuan yang telah dicapai, serta jumlah anak perempuan yang menjadi pengantin akan kembali meningkat.
Anak perempuan dapat mengubah dunia, namun saat ini, keadaan di luar kendali mereka justru menghalangi potensi yang mereka miliki. Ketika para menteri negara-negara G7 bertemu pada minggu ini dan minggu depan, salah satu tema yang akan mereka diskusikan adalah “berinvestasi pada pertumbuhan yang bermanfaat bagi semua orang.” Menurut pendapat kami, cara terbaik untuk mencapai hal tersebut adalah dengan mengatasi permasalahan sosial yang mempunyai dampak merugikan – tidak hanya bagi anak perempuan – yang sangat besar.
To have unlimited access to our content including in-depth commentaries, book reviews, exclusive interviews, PS OnPoint and PS The Big Picture, please subscribe
In pursuing a new loan from the International Monetary Fund, Argentinian President Javier Milei's government has made no secret of its self-interested political motivations. If the world's lender of last resort falls for the ploy, it could suffer a loss of credibility from which it might not recover.
worries that the Fund will damage its credibility by issuing another politically motivated loan to Argentina.
With a variety of larger forces driving profound changes, the outlook for the global economy was cloudy even before Donald Trump's return to the White House added to the uncertainty. But one thing is clear: the previous era of global interdependence based on efficiency and mutually beneficial arrangements is over.
considers the US administration's policy shake-up against the backdrop of larger global trends.
NEW YORK – Dampak kemanusiaan dari pernikahan anak telah diketahui; di seluruh dunia, anak perempuan yang menjadi pengantin, rata-rata kurang berpendidikan, lebih miskin, dan lebih rentan terhadap kekerasan seksual dibandingkan dengan perempuan yang menikah pada usia dewasa. Namun ketika dampak ekonomi dari pernikahan anak juga diperhitungkan, maka dampak buruknya benar-benar mengejutkan.
Menurut International Center for Research on Women (Pusat Internasional untuk Penelitian tentang Perempuan) dan Bank Dunia, mengakhiri praktik pernikahan anak akan menghemat miliaran dolar belanja kesejahteraan tahunan, sehingga menghasilkan penghematan lebih dari $4 triliun pada tahun 2030. Sederhananya, kita tidak bisa membiarkan pernikahan anak untuk terus berlanjut.
Banyak negara yang telah menyadari hal ini. Misalnya saja di Indonesia, dimana dampak ekonomi dari pernikahan anak secara negatif mempengaruhi perkiraan pertumbuhan jangka panjang, Presiden Joko Widodo telah berjanji untuk melarang praktik tersebut, dan hal ini adalah sebuah janji penting mengingat 14% anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun.
Namun di banyak negara dimana pernikahan anak merupakan hal yang lazim, perubahan lambat terjadi. Meskipun banyak strategi telah di diskusikan mulai dari Bangladesh hingga ke Zambia, pendanaan untuk program yang terbukti mengurangi pernikahan anak – misalnya peningkatan akses anak perempuan terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan pelatihan kerja – tetap tidak memadai. Jika kita serius untuk mengakhiri pernikahan anak, maka strategi yang holistik harus di dukung dengan komitmen finansial.
Yang pasti, pernikahan anak adalah sebuah tantangan yang sangat besar. Saat ini, satu dari lima anak perempuan di seluruh dunia menikah atau menikah secara tidak resmi sebelum mereka berumur 18 tahun, dan sebagian besar dari anak perempuan ini akan menjadi ibu sebelum mereka menginjak usia dewasa. Di Niger, yang merupakan negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi di dunia, 76% anak perempuan menikah sebelum mereka mempunyai hak pilih dalam pemilu. Dan ketika pernikahan anak terjadi, anak perempuan sering kali tidak mempunyai andil dalam pengambilan keputusan.
Kabar baiknya adalah saat ini merupakan waktu terbaik untuk mengatasi permasalahan pernikahan anak. Ketika dampak ekonomi dari pernikahan anak kini tampak jelas, banyak negara berkembang yang mulai mengatasi permasalahan ini dengan lebih serius. Namun, untuk membantu mengatasi permasalahan ini, negara-negara maju harus turut serta, dan peluang berikutnya untuk melakukan hal tersebut kini kian dekat.
Introductory Offer: Save 30% on PS Digital
Access every new PS commentary, our entire On Point suite of subscriber-exclusive content – including Longer Reads, Insider Interviews, Big Picture/Big Question, and Say More – and the full PS archive.
Subscribe Now
Pada 31 Mei, para menteri keuangan dan pembangunan negara-negara G7 akan mengadakan pertemuan pertama dari serangkaian pertemuan di Kanada untuk membahas bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat dibagi secara lebih adil. Pertemuan-pertemuan ini akan membuka jalan bagi diskusi yang lebih luas pada minggu depan, ketika Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau menjadi tuan rumah KTT G7.
Trudeau telah berjanji menjadikan kesetaraan gender sebagai tema utama pertemuan tahun ini, dan kami menyambut baik hal tersebut. Namun kami juga menyadari bahwa kecuali para menteri negara-negara G7 mendukung perkataan mereka dengan pendanaan, maka janji-janji yang diucapkan dalam KTT ini tidak akan berarti – dan anak-anak akan terus menderita ketidakadilan yang diakibatkan oleh pernikahan dini.
Mengakhiri pernikahan anak memerlukan ambisi, kreativitas, dan dana. Namun hal-hal tersebut hanya permulaan saja; solusi yang ditargetkan juga merupakan hal yang penting. Meskipun pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi masa depan anak-anak perempuan, namun membangun sekolah dan membayar gaji guru tidaklah cukup. Untuk benar-benar menciptakan pemberdayaan, anak-anak perempuan memerlukan akses terhadap pendidikan yang aman dan berkualitas yang memberikan mereka rasa percaya diri dan keterampilan untuk mencapai keberhasilan. Dan untuk mencapai hal-hal tersebut, dibutuhkan upaya jangka panjang.
Jika negara-negara terkaya di dunia menjadikan permasalahan ini sebagai prioritas utama, maka imbalannya akan sangat besar. Misalnya, Bank Dunia memperkirakan bahwa jika Niger melarang pernikahan anak, maka negara tersebut dapat menghemat belanja kesejahteraan tahunan sekitar $1.7 miliar. Bangladesh dapat menghasilkan tambahan $4.8 miliar pendapatan dan produktivitas tahunan, dan penghematan belanja kesejahteraan di Nigeria akan berjumlah sebesar $7.6 miliar.
Pemerintah mulai mengambil langkah-langkah untuk menurunkan tingkat pernikahan anak; faktanya, jumlah perempuan yang menikah pada usia anak-anak menurun setiap tahun. Sayangnya, perubahan ini masih terlalu lambat. Jika negara-negara di dunia tidak secara drastis mempercepat kemajuan dan meningkatkan investasi, maka pertumbuhan populasi yang cepat akan membalikkan kemajuan yang telah dicapai, serta jumlah anak perempuan yang menjadi pengantin akan kembali meningkat.
Anak perempuan dapat mengubah dunia, namun saat ini, keadaan di luar kendali mereka justru menghalangi potensi yang mereka miliki. Ketika para menteri negara-negara G7 bertemu pada minggu ini dan minggu depan, salah satu tema yang akan mereka diskusikan adalah “berinvestasi pada pertumbuhan yang bermanfaat bagi semua orang.” Menurut pendapat kami, cara terbaik untuk mencapai hal tersebut adalah dengan mengatasi permasalahan sosial yang mempunyai dampak merugikan – tidak hanya bagi anak perempuan – yang sangat besar.